Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% kembali menjadi topik panas di parlemen. Kali ini, dua partai besar, Gerindra dan PDI Perjuangan (PDIP), saling lempar tanggung jawab terkait inisiasi kebijakan ini. Polemik yang terkesan politis ini menarik untuk di telaah, mengingat dampak kebijakan tersebut langsung di rasakan oleh masyarakat luas.
Anggota Komisi XI Fraksi Gerindra, Wihadi Wiyanto, menegaskan bahwa kenaikan PPN ini di inisiasi oleh PDIP. Ia mengingatkan bahwa partai berlogo banteng itu turut terlibat aktif dalam Panitia Kerja (Panja) saat pembahasan. Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Pernyataan ini di perkuat oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Rahayu Saraswati, yang mengaku heran dengan sikap PDIP yang kini terkesan menolak kebijakan tersebut.
PDIP Tegaskan Kenaikan PPN Adalah Usulan Pemerintah
Namun, Ketua DPP PDIP, Deddy Sitorus, membantah tudingan tersebut. Menurutnya, kenaikan PPN merupakan usulan dari pemerintah melalui. Kementerian Keuangan yang kemudian di dukung oleh seluruh koalisi pendukung Presiden Jokowi, termasuk Gerindra.
Ia juga menambahkan bahwa persetujuan PDIP kala itu di dasarkan pada asumsi bahwa. Ekonomi domestik dan global sedang dalam kondisi baik.
Polemik ini mengungkapkan bagaimana partai politik sering kali memainkan posisi fleksibel tergantung pada dinamika situasi. Ketika sebuah kebijakan menjadi tidak populer di mata publik, langkah saling menyalahkan atau berusaha cuci tangan menjadi lazim. Dalam kasus ini, baik Gerindra maupun PDIP tampak ingin menjaga citra masing-masing di tengah gejolak ekonomi yang di warnai kenaikan harga barang akibat peningkatan PPN.
Namun, yang luput dari perhatian kedua belah pihak adalah esensi dari kebijakan itu sendiri. Kenaikan PPN 12% tentu membawa konsekuensi besar bagi daya beli masyarakat. Di tengah inflasi global dan pemulihan pasca-pandemi, tambahan beban pajak ini berpotensi memperberat beban hidup masyarakat kelas menengah ke bawah.
Seharusnya, perdebatan ini tidak berhenti pada siapa yang salah atau benar dalam inisiasi kebijakan. Melainkan berfokus pada bagaimana mitigasi dampak yang di rasakan masyarakat. PPN yang lebih tinggi memang dapat meningkatkan pendapatan negara, tetapi hal ini perlu di imbangi dengan kebijakan fiskal yang mendukung kelompok rentan. Misalnya, dengan memberikan subsidi tambahan atau mengecualikan barang-barang kebutuhan pokok dari kenaikan pajak.
Dalam sistem demokrasi, perbedaan pandangan antarpartai adalah hal yang wajar. Namun, sikap saling tuding yang hanya bertujuan untuk mencari aman secara politis justru kontraproduktif. Kedua partai seharusnya bersama-sama mencari solusi yang konkret untuk menjawab keresahan publik, bukan larut dalam narasi saling menyalahkan.
Akhirnya, masyarakat membutuhkan kebijakan yang berpihak, bukan drama politik. Polemik kenaikan PPN ini harus menjadi pengingat bahwa tanggung jawab terhadap rakyat jauh lebih penting daripada sekadar menjaga citra politik masing-masing.
Berita Terkait: