Fakta Warga, Jakarta – PT Sri Rejeki Isman (Sritex), salah satu raksasa tekstil Indonesia, resmi menghentikan operasionalnya pada Sabtu (1/3/2025). Penutupan ini menjadi puncak dari krisis keuangan yang telah melanda perusahaan selama beberapa tahun terakhir. Krisis tersebut bermula pada 2021, ketika Sritex gagal melunasi utang sindikasi sebesar US$350 juta atau setara Rp5,79 triliun (asumsi kurs Rp16.551 per dolar AS).
Meskipun manajemen Sritex sempat mengajukan restrukturisasi utang, upaya tersebut tidak berhasil menyelamatkan perusahaan. Akhirnya, pada 21 Oktober 2024, Pengadilan Niaga Semarang menyatakan Sritex pailit. Penutupan ini berdampak besar pada lebih dari 8.000 karyawan yang kehilangan pekerjaan.
baca lainnya: KTP Disalah Gunakan, Warga Kubu Raya Gugat BCA Finance ke PN Pontianak
Dampak pada Karyawan
Di nas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Di sperinaker) Sukoharjo berjanji akan menyiapkan 10 ribu lowongan pekerjaan bagi mantan karyawan Sritex. Lowongan tersebut tersebar di perusahaan tekstil, plastik, dan rokok di sekitar wilayah Sukoharjo, Selogiri, dan Jaten.
“Pagi tadi ada 10.133 loker dari perusahaan Sukoharjo dan sekitarnya, seperti di Selogiri dan Jaten. Ada garmen, plastik, lintingan rokok,” ujar Kepala Di sperinaker Sukoharjo, Sumarno, Jumat (28/2).
Sumarno menegaskan bahwa mantan karyawan Sritex akan di istimewakan dengan tidak di kenakan batasan usia saat melamar pekerjaan di perusahaan lain. Namun, penutupan Sritex tetap menjadi pukulan berat bagi industri tekstil Indonesia.
Alarm bagi Industri Tekstil
Penutupan Sritex menjadi alarm serius bagi industri tekstil Indonesia, yang sedang mengalami penurunan performa. Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyatakan bahwa kondisi industri tekstil tidak sedang baik-baik saja. Bukan hanya Sritex, banyak perusahaan tekstil kecil lainnya juga telah gulung tikar dalam beberapa tahun terakhir.
“Permasalahan Sritex dan beberapa pabrik yang tutup dalam dua bulan terakhir merupakan dampak dari kondisi daya beli yang melemah di tahun lalu. Deflasi bulanan terjadi secara berturut-turut, menekan permintaan rumah tangga, termasuk untuk produk tekstil,” ujar Huda kepada CNNIndonesia.com.
Kebijakan Pemerintah yang Di pertanyakan
Huda menilai bahwa penurunan daya beli di perparah oleh kebijakan pemerintah yang kurang mendukung industri lokal. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
“Kebijakan itu membuat arus impor dari luar negeri menjadi lebih deras, khususnya di tekstil. Barang dari China dengan mudah masuk ke dalam negeri dan membanjiri pasar Tanah Air. Akibatnya, perusahaan lokal harus bersaing dengan barang impor yang harganya lebih murah,” tegas Huda.
Solusi yang Dibutuhkan
Huda menyarankan agar pemerintah segera merevisi kebijakan impor dan memberikan insentif untuk meningkatkan daya beli masyarakat. “Selain menaikkan daya beli dengan pemberian berbagai insentif, saya rasa perlu revisi Permendag 8 tahun 2024. Jika masih ada permendag tersebut, susah bagi industri tekstil kita rebound,” terangnya.
Penutupan Sritex menjadi tanda bahwa industri tekstil Indonesia membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Tanpa kebijakan yang mendukung, bukan tidak mungkin perusahaan tekstil lainnya akan mengalami nasib serupa. Pemerintah di harapkan dapat segera mengambil langkah konkret untuk menyelamatkan industri tekstil dan melindungi ribuan pekerja yang bergantung pada sektor ini.
“Kita harus belajar dari kasus Sritex. Industri tekstil adalah tulang punggung ekonomi kita, dan kita tidak bisa membiarkannya tumbang begitu saja,” tutup Huda.
baca lainnya juga: Polemik Pemberhentian Tenaga Pendamping Desa Memanas




