FAKTAWARGA – Starbucks mengumumkan restrukturisasi besar senilai USD 1 miliar atau sekitar Rp16,74 triliun (estimasi kurs Rp16.746/USD), sebagai bagian dari strategi transformasi bertajuk Back to Starbucks yang dipimpin oleh CEO Brian Niccol. Langkah ini mencakup penutupan ratusan gerai dan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 900 karyawan non-ritel di Amerika Utara.
Dalam laporan kepada Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC), Starbucks menyatakan bahwa jumlah gerai yang dioperasikan langsung di kawasan tersebut akan turun sekitar 1% pada tahun fiskal 2025. Menurut analis TD Cowen, angka tersebut setara dengan penutupan sekitar 500 gerai secara bruto.
Niccol menjelaskan, penutupan dilakukan karena sejumlah gerai tidak mampu menghadirkan lingkungan fisik yang sesuai ekspektasi pelanggan dan mitra (sebutan untuk karyawan), atau dianggap tidak memiliki prospek finansial yang berkelanjutan.
“Kami berupaya menempatkan sumber daya kami sedekat mungkin dengan pelanggan demi menciptakan kedai kopi hebat dan memberikan layanan kelas dunia,” tulis Niccol dalam memo internal kepada karyawan.
Baca Juga: KPK Benarkan Geledah Rumah Pribadi dan Dinas Gubernur Kalbar Ria Norsan
PHK dan Fokus Baru
Langkah ini menjadi gelombang PHK kedua di bawah kepemimpinan Niccol, setelah sebelumnya sekitar 1.100 pekerja korporat dilepas pada awal 2024. Starbucks menutup tahun fiskal sebelumnya dengan sekitar 16.000 karyawan non-ritel.
Dari total dana restrukturisasi, sekitar USD 150 juta dialokasikan untuk biaya pesangon, sementara USD 850 juta untuk proses penutupan gerai. Mayoritas beban tersebut akan dicatat dalam tahun fiskal 2025.
Bagi karyawan gerai yang terdampak, perusahaan berkomitmen untuk menawarkan relokasi ke gerai lain, atau pesangon jika relokasi tidak memungkinkan. Starbucks Workers United, serikat pekerja yang mewakili 12.000 barista di lebih dari 650 gerai, menyatakan akan melakukan perundingan dampak agar karyawan dapat ditempatkan kembali sesuai preferensi mereka.
Penataan Ulang Strategi Bisnis dan Ekspansi
Meski melakukan efisiensi besar-besaran, Starbucks tetap menargetkan akan menutup tahun fiskal dengan hampir 18.300 gerai di Amerika Utara, mencakup gerai yang dioperasikan langsung maupun melalui lisensi.
Mulai 2026, perusahaan berencana kembali melakukan ekspansi jumlah gerai. Sementara itu, fokus tahun ini dialihkan pada renovasi lebih dari 1.000 outlet untuk menciptakan suasana yang lebih nyaman dan ramah pelanggan, serta mengembalikan citra Starbucks sebagai “tempat ketiga” setelah rumah dan kantor.
Sebagai bagian dari peningkatan layanan, Starbucks juga telah meluncurkan inisiatif Green Apron Service, sebuah program senilai USD 500 juta untuk meningkatkan jam kerja barista di gerai yang dimiliki langsung.
“Langkah-langkah ini untuk memperkuat apa yang sudah berjalan dan memprioritaskan sumber daya ke area yang paling berdampak,” lanjut Niccol dalam suratnya.
Dampak Saham dan Perubahan Manajemen
Setelah pengumuman tersebut, saham Starbucks tercatat turun tipis kurang dari 1% di sesi perdagangan sore hari Kamis. Sejak awal tahun, harga saham perusahaan telah melemah lebih dari 8%.
Selain restrukturisasi dan penyesuaian bisnis, Starbucks juga memperkenalkan kebijakan kerja baru yang mewajibkan karyawan kantor hadir empat hari dalam seminggu. Niccol juga merekrut beberapa nama baru dalam jajaran eksekutif, termasuk CFO Cathy Smith, Global Chief Brand Officer Tressie Lieberman, dan COO Mike Grams. Kedua nama terakhir sebelumnya bekerja bersama Niccol di Chipotle dan Yum Brands.
Niccol menegaskan, semua langkah ini diambil demi membangun Starbucks yang lebih kuat dan siap menghadapi tantangan pasar ke depan.
“Saya yakin langkah-langkah ini diperlukan untuk menciptakan Starbucks yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih tangguh,” tutupnya.