Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang kini terus melemah hingga menembus level atas Rp 16.400/US$. Membuat kalangan pelaku usaha berencana melakukan efisiensi.
Efisiensi akan di lakukan karena mahalnya bahan baku industri yang mayoritas masih harus di penuhi dari impor. Kata lain dari efisiensi biasanya merujuk pada perampingan jumlah tenaga kerja melalui pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Efek depresiasi rupiah mengakibatkan peningkatan beban produksi pada industri, sehingga perusahaan yang terdampak akan memiliki risiko PHK,” tegas Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani, Senin (24/6/2024).
Di lansir dari CBNC Indonesia, rupiah telah di tutup melemah 0,12% di level Rp16.445/US$ pada Jumat (21/6/2024). Bahkan di tengah perdagangan, rupiah sempat menyentuh titik terlemahnya yakni di level Rp16.475/US$. Kondisi terparah sejak pandemi Covid-19 yang terjadi pada awal 2020 atau sekitar empat tahun silam.
Shinta menjelaskan, dari level pergerakan rupiah itu, industri yang akan paling terdampak adalah sektor manufaktur padat karya berorientasi ekspor, khususnya tekstil dan garmen. Industri tekstil dan garmen sudah lemah karena penurunan market share pasar domestik dan penurunan daya saing ekspor besar.
BACA JUGA: Rupiah Melemah, Perekonomian RI Tidak Baik-baik Saja
Meski berorientasi ekspor, komponen bahan baku industri ini memang mayoritas masih berasal dari impor dan 55% struktur biaya produksinya menggunakan dolar AS. Mengutip catatan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia, untuk kebutuhan kapas sebagai serat saja 100% masih impor. Begitu juga gas dan monoetilen glikol yang bayarnya dalam dolar AS meski diproduksi di dalam negeri.
“Depresiasi rupiah semakin menekan sektor ini, terutama karena eksportir harus bersaing dengan negara yang mengalami depresiasi mata uang lebih rendah. Sehingga menurunkan daya saing ekspor Indonesia secara signifikan,” tuturnya.
Tekanan akibat Nilai tukar rupiah melemah, dia ingatkan juga akan di rasakan oleh sektor usaha dengan ketergantungan kebutuhan impor bahan baku tinggi karena kurangnya dukungan supply chain domestik, seperti industri otomotif, industri elektronik, farmasi/alat kesehatan, dan logistik.
“Bila depresiasi Rupiah dan inflasi kebutuhan pokok berlanjut. Industri manufaktur nasional berorientasi domestik akan menghadapi penurunan produktivitas dan kesulitan mempertahankan tenaga kerja,” tegas Shinta.
Meski begitu, Shinta menekankan, PHK itu tidak akan terjadi secara besar-besaran dan dalam waktu dekat. Sebab, efek dari pelemahan rupiah terhadap neraca keuangan perusahaan menurutnya terjadi dalam waktu menengah atau panjang.
“Kemungkinan PHK akan terjadi secara bertahap seiring dengan pelemahan kinerja usaha yang disebabkan oleh depresiasi Rupiah. Kondisi ini menegaskan pentingnya stabilitas nilai tukar untuk mencegah peningkatan beban usaha yang berlebihan dan mengurangi risiko PHK yang lebih besar,” ungkap Shinta.
Tekanan akibat depresiasi rupiah, dia ingatkan juga akan di rasakan oleh sektor usaha dengan ketergantungan kebutuhan impor bahan baku tinggi karena kurangnya dukungan supply chain domestik. Seperti industri otomotif, industri elektronik, farmasi/alat kesehatan, dan logistik.
“Bila depresiasi Rupiah dan inflasi kebutuhan pokok berlanjut. Industri manufaktur nasional berorientasi domestik akan menghadapi penurunan produktivitas dan kesulitan mempertahankan tenaga kerja,” tegas Shinta.
Meski begitu, Shinta menekankan, PHK itu tidak akan terjadi secara besar-besaran dan dalam waktu dekat. Sebab, efek dari pelemahan rupiah terhadap neraca keuangan perusahaan menurutnya terjadi dalam waktu menengah atau panjang.
“Kemungkinan PHK akan terjadi secara bertahap seiring dengan pelemahan kinerja usaha yang disebabkan oleh depresiasi Rupiah. Kondisi ini menegaskan pentingnya stabilitas nilai tukar untuk mencegah peningkatan beban usaha yang berlebihan dan mengurangi risiko PHK yang lebih besar,” ungkap Shinta.




