Fakta Warga, Jakarta – Ribuan pengemudi ojek online (ojol) dari berbagai daerah di Jawa dan Sumatera bersiap menggelar demonstrasi besar-besaran pada Selasa (20/5/2025). Aksi ini di pelopori oleh sejumlah organisasi, termasuk Asosiasi Pengemudi Ojol Garda Indonesia dan Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI). Mereka akan mematikan aplikasi transportasi daring selama 24 jam sebagai bentuk protes terhadap kebijakan potongan fee oleh perusahaan aplikator yang di nilai merugikan.
Salah satu tuntutan utama adalah penurunan potongan biaya aplikasi dari 20% menjadi 10%, sesuai dengan klaim bahwa saat ini potongan bisa mencapai 50%—jauh melampaui ketentuan Keputusan Menteri Perhubungan (KP) No. 1001 Tahun 2022. “Kami sudah berulang kali menyampaikan keluhan, tetapi di abaikan. Aksi kali ini harus lebih keras,” tegas Raden Igun Wicaksono, Ketua Asosiasi Ojol Garda Indonesia.
Tuntutan Aksi Demonstrasi Ojol
Selain masalah potongan, aksi ini juga menyoroti ketidakadilan sistem kerja mitra ojol. Lily Pujiati dari SPAI menyatakan bahwa pengemudi di paksa bekerja 12–16 jam sehari tanpa jaminan cuti atau perlindungan kesehatan. “Status mitra hanya jadi alat untuk menghindari tanggung jawab sebagai pemberi kerja,” ujarnya.
baca juga: Makna Sejarah Harkitnas, 20 Mei Apakah Libur
Mereka menuntut revisi tarif layanan, transparansi perhitungan pendapatan, serta penghapusan skema prioritas yang di nilai tidak adil. “Order sering tidak merata karena algoritma aplikator lebih menguntungkan driver tertentu,” tambah Lily. Bahkan, pengemudi perempuan juga mengeluhkan tidak adanya cuti haid atau melahirkan berbayar.
Respons Pemerintah & Aplikator: Klaim Kepatuhan Aturan
Merespons aksi Demonstrasi Ojol ini, Kemenhub menggelar pertemuan dengan perwakilan aplikator seperti Gojek, Grab, dan Maxim. Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi menegaskan bahwa potongan resmi tidak melebihi 20%, sesuai regulasi. “Kami akan kaji ulang jika ada pelanggaran,” katanya.
Sementara itu, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi mengakui hak demonstrasi Ojol ini tetapi mengimbau agar tidak mengganggu layanan publik. “Pemerintah mendengar aspirasi ini, tapi penyelesaian harus melalui dialog,” ujarnya.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai aksi Demonstrasi Ojol ini adalah bukti kegagalan model bisnis transportasi online. “Pendapatan ojol terus tergerus, sementara aplikator untung besar,” katanya. Ia mendorong pemerintah membuat platform alternatif yang di kelola daerah untuk menjamin kesejahteraan pengemudi.
Aksi ini menjadi ujian bagi pemerintah dan perusahaan teknologi. Jika tidak ada solusi konkret, gelombang protes mungkin akan semakin meluas, mengingat ojol telah menjadi tulang punggung bagi ribuan keluarga di Indonesia.




