Fakta Warga, Kubu Raya — Pengibaran bendera bajak laut One Piece atau dikenal sebagai Jolly Roger di Kubu Raya menjadi perbincangan nasional. Aksi simbolik ini memantik ragam respons, termasuk dari Ketua Komisi IV DPRD Kubu Raya, Muhammad Amri, yang menyarankan warga agar tak mengikuti tren semacam itu dan lebih memilih menyampaikan kritik secara langsung kepada pemerintah.
Namun di tengah derasnya opini yang menyederhanakan fenomena ini sebagai bentuk “ketidaksukaan terhadap pemerintah”, muncul suara tajam namun bernas dari akun Instagram @Human_Liberation, yang mengajak publik untuk melihat lebih dalam apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Dalam unggahannya, akun tersebut menegaskan bahwa Jolly Roger bukan sekadar ikon bajak laut, melainkan simbol yang mewakili kekuatan, kebebasan, tekad pribadi, dan solidaritas nilai-nilai dasar dalam sistem demokrasi dan republik seperti Indonesia.
“Dalam negara demokrasi, kebebasan adalah hak dasar. Tekad pribadi adalah bentuk kesadaran politik, khususnya saat sistem pemerintahan menunjukkan gejala kebobrokan. Solidaritas menjadi wujud kegelisahan kolektif dalam melawan kekuasaan yang mulai kehilangan arah,” tulis akun itu.
Ia juga menegaskan, pengibaran bendera tersebut bukan tindakan provokatif, melainkan bentuk kesadaran kolektif masyarakat Kubu Raya yang ingin menyuarakan kegelisahan terhadap realitas sosial dan politik yang tidak kunjung membaik.
Lebih dari itu, Human_Liberation melemparkan pertanyaan penting yang seharusnya menjadi bahan perenungan para wakil rakyat:
“Pernahkah Pak Dewan merenung bahwa fenomena ini adalah sinyal awal perlawanan terhadap ketimpangan dan ketidakadilan?”
Pernyataan tersebut sekaligus mengkritik keras narasi yang dibangun oleh Amri, yang terkesan menyederhanakan aspirasi masyarakat sebagai ekspresi emosional belaka. Menurutnya, hal itu justru berbahaya karena menutupi akar persoalan yang lebih substansial.
“Kritik rakyat bukan soal suka atau tidak suka, tetapi ekspresi perlawanan terhadap sistem yang mulai gagal memenuhi janji keadilan. Ini bukan persoalan emosi, tapi tanggung jawab publik.”
Saat Wakil Rakyat Gagal Membaca Simbol
Komentar dewan yang menyarankan pendekatan persuasif semata, tanpa membuka ruang refleksi atas substansi kritik yang disampaikan masyarakat, menunjukkan satu hal: kegagapan wakil rakyat dalam membaca simbol-simbol perlawanan yang lahir dari kekecewaan kolektif.
Dalam situasi ketika jalur formal seringkali tidak efektif, rakyat menggunakan simbol sebagai bahasa alternatif. Alih-alih dimusuhi atau diperingatkan, ekspresi semacam ini seharusnya dibaca sebagai alarm sosial. Kritik adalah bentuk kepedulian, bukan perlawanan. Sayangnya, sebagian elit politik justru memilih untuk menutup telinga dan berlindung di balik prosedur.
“Jangan justru menghakimi masyarakat Kubu Raya seolah keresahan mereka tidak berdasar. Sebab sesungguhnya, kritik itu adalah tanda bahwa rakyat masih peduli,” tegas Human_Liberation.
Pernyataan ini mendapat dukungan luas di media sosial. Banyak yang menilai, suara dari masyarakat seperti ini justru yang sering tak terwakili di forum-forum resmi, padahal substansinya jauh lebih jernih dibanding debat politik yang sering kali hanya penuh basa-basi.
Fenomena Jolly Roger ini seharusnya menjadi momentum refleksi, bukan sekadar polemik. Negara seharusnya tidak sibuk mempertanyakan siapa yang salah, tapi segera bertanya: apa yang sedang mereka teriakkan?
Ketika rakyat memilih simbol sebagai bahasa, itu artinya mereka telah kehilangan kepercayaan pada komunikasi formal. Dan jika wakil rakyat masih menanggapinya dengan narasi normatif, maka justru merekalah yang perlu dipertanyakan: masihkah mereka mewakili rakyat?




