Kritik Pedas Wagub Kalbar: Pangkat Militer Bukan Tiket Buka Kebun

kritik wagub kalbar krisantus
Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan, menyuarakan kekecewaannya atas ketimpangan antara derasnya arus investasi dan lambatnya pembangunan infrastruktur di daerah

Fakta Warga, Pontianak – Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan, menyuarakan kekecewaannya atas ketimpangan antara derasnya arus investasi dan lambatnya pembangunan infrastruktur di daerah.

Dalam sambutan penuh emosi di Musyawarah Provinsi Luar Biasa (Musprovlub) Kadin Kalbar (29/7), Krisantus menilai bahwa kehadiran ribuan perusahaan tambang dan perkebunan belum berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat.

“Investasi menjamur di mana-mana, tapi saat saya turun ke kampung, masyarakat masih harus membuat jembatan kayu sendiri supaya kendaraan tak tercebur ke sungai,” ungkapnya.

Ia menggambarkan betapa buruknya infrastruktur dasar di pedalaman Kalbar, hingga diri nya kerap harus di jemput alat berat karena akses jalan yang sangat terbatas. Hal ini, menurutnya, menjadi bukti nyata bahwa keberadaan investor belum memberi dampak signifikan bagi warga lokal.

“Proposal bantuan terus berdatangan. Itu artinya kemiskinan masih merata. Pasal 33 UUD 1945 belum sungguh-sungguh dijalankan,” tegasnya, merujuk pada cita-cita ekonomi kerakyatan dalam konstitusi.

Baca Juga: Musprovlub Kadin Kalbar Digelar, Ini Harapan Pemerintah dan Pengusaha

Kritik Krisantus juga menyasar praktik pengusaha yang menggunakan status atau pangkat militer sebagai tameng dalam menjalankan bisnisnya. Ia menilai, hal tersebut tidak etis dan cenderung mengabaikan tanggung jawab sosial.

“Pangkat itu tidak dibawa ke kebun. Kalau buka usaha, jangan hanya bawa titel tapi lupakan tanggung jawab kepada rakyat,” sindirnya tajam.

Lebih lanjut, ia menyoroti rendahnya kepatuhan perusahaan terhadap kewajiban seperti CSR (Corporate Social Responsibility) dan PPF (Pajak Produksi dan Fasilitas). Banyak perusahaan, menurutnya, justru memiliki NPWP di luar Kalbar sehingga penghitungan kontribusi lokal menjadi sulit di lakukan.

“Selama kantor dan NPWP-nya ada di Jakarta, bagaimana kita bisa mengukur berapa besar laba bersih mereka? Padahal, dari laba bersih itu mestinya 2–2,5 persen masuk ke CSR dan PPF,” jelasnya.

Ia pun memberi ilustrasi sederhana: bila seribu perusahaan menyumbang Rp1 miliar per tahun melalui CSR, maka Kalbar bisa menerima dana hingga Rp1 triliun tiap tahun untuk pembangunan.

“Tapi realitanya? Kita cuma dapat laporan. Kalbar hanya jadi tempat ambil untung, bukan tempat berbagi hasil,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *